
Bulan Hitam di Langit Syam (Gaza)
Gaya Hidup | 2025-04-19 07:02:56
"Faiza mendekat. Anak itu menggambar sebuah rumah sederhana dengan matahari besar di atasnya. "Ini rumahku sebelum hancur," bisiknya tanpa menoleh. "Nanti kalau perang selesai, aku mau matahari bersinar lagi."
=============
Musim dingin kelabu. Awal tahun 2024, langit Syam (Gaza) tak lagi mengenal warna selain kelabu oleh asap, mesiu dan debu, serta hitam legam di malam hari yang hanya dirobek oleh kilatan ledakan roket roket Isr4el.
Faiza, yang usianya kini terasa melompat jauh melampaui 20-an tahunnya, meringkuk di dalam tenda pengungsian tipis di Rafah. Udara Januari menusuk tulang, merembes melalui celah terpal yang usang. Atap rumahnya di Gaza Utara? Ia bahkan tak tahu apakah masih ada sisa dinding yang berdiri.
Sejak 7 Oktober 2023, saat Badai Al-Aqsa memicu respons brutal Isr4el yang mereka namai "Pedang Besi" (Swords of Iron), hidupnya dan jutaan warga Gaza lainnya terlempar ke dalam jurang kengerian yang tak terbayangkan.
Faiza masih terbayang bagaimana mereka menunggu air hujan untuk minum atau mandi dan cuci dengan air laut yang asin. Dia masih mengingat betul bagaimana segerombolan pengungsian dibantai habis oleh tank tank zion1s.
Bulan di langit Gaza tak lagi sekadar bersembunyi; ia seolah lenyap ditelan jelaga perang yang tak kunjung usai.
Langit malam adalah kanvas hitam tanpa bintang, hanya diterangi cahaya api dari bom-bom yang terus berjatuhan dan dengung drone "zenana" yang kini terasa seperti detak jantung kematian itu sendiri.
Listrik telah lama padam total, air bersih adalah kemewahan yang diperebutkan, dan kelaparan mulai menggerogoti perut-perut kosong di kamp pengungsian yang penuh sesak ini. Komunikasi terputus berhari-hari, memutus Faiza dari kabar kerabat yang terpencar di reruntuhan Khan Younis atau Jabalia.
Beberàpa rekan Faiza ada yang pandai mengelola energi surya dari barang bekas, hingga ada listrik setidaknya untuk dua jam, atau sekadar mengecas HP.
Perang kali ini berbeda. Bukan lagi sekadar bombardir sporadis. Ini adalah penghancuran sistematis. Penghancuran etnis. Bahkan anak anak dan orangtua renta tanpa pandang bulu.
Universitas tempat Faiza dulu bermimpi meraih gelar Sastra Arab kini hanya tumpukan beton. Rumah sakit seperti Al-Shifa dan Rumah Sakit Indonesia telah menjadi sasaran, dikepung, diserbu, menyisakan cerita horor bagi pasien dan tenaga medis. Bahkan cerita horor bagi seluruh dunia.
Faiza berjalan di antara tenda-tenda, kakinya terbenam lumpur dingin sisa hujan semalam. Wajah-wajah di sekelilingnya adalah cermin kelelahan, kelaparan, dan duka yang mendalam.
Setiap hari, daftar nama syuhada bertambah. Angka resmi yang beredar di antara para pengungsi, yang disebarkan dari mulut ke mulut atau melalui radio baterai yang lemah, telah melampaui 60.000 jiwa, sebuah angka yang membekukan darah, merenggut hampir setiap keluarga di Gaza.
Angka itu termasuk ayah dan adik laki-lakinya, yang syahid saat mengantri bantuan makanan beberapa minggu lalu. Kini ia hanya bersama ibunya yang tatapannya sering kosong.
Di area terbuka di tengah kamp, di atas tikar seadanya yang digelar di tanah basah, Ustadz Khalil – yang juga mengungsi dari utara – masih berusaha mengumpulkan sisa-sisa komunitas untuk shalat berjamaah di antara reruntuhan bangunan yang terbuka dan hancur, di bawah sinar bulan yang hitam. Suaranya serak karena debu dan kelelahan, namun ia tetap berdiri tegak.
"Saudara-saudariku yang dicintai Allah," ucapnya setelah memimpin shalat Maghrib yang singkat dan syahdu, diiringi suara dentuman di kejauhan.
"Langit mungkin tampak hitam, bulan mungkin terasa telah mati. Puluhan ribu saudara kita telah mendahului sebagai syuhada. Anak-anak kita kelaparan. Dunia seolah tak sanggup menghentikan kekejian Isr4el. Segala protes sudah disiarkan walau yang skeptis terhadap Paletin4 tetap ada.
'Tapi ingatlah," jeda sejenak, matanya menyapu wajah-wajah yang menunduk, "Allah bersama orang-orang yang sabar. Sabar kita hari ini adalah perlawanan. Tawakkul kita adalah senjata.
Jangan biarkan keputusasaan memenangkan hati kita. Tetaplah hidup, bertahan dan membantu perjuangan, tetaplah berdoa, tetaplah menjadi saksi untuk tanah mulia ini, meskipun mereka berusaha merenggut kemanusiaan kita."
Kata-kata itu, meski sulit dicerna di tengah perut yang lapar dan hati yang remuk, memberi sedikit pijakan bagi Faiza. Ia melihat seorang ibu berbagi sepotong roti kering dengan anak tetangganya yang yatim piatu. Ia melihat remaja laki-laki membantu mendirikan kembali tenda yang roboh diterpa angin. Kemanusiaan masih bernafas, meski tersengal.
Faiza teringat Nura, gadis kecil yang dulu ditemuinya di rumah sakit pada perang 2008. Bagaimana nasibnya sekarang? Apakah ia selamat? Atau menjadi salah satu dari angka 60.000 itu? Di kamp ini, Faiza melihat ratusan Nura lainnya.
Anak-anak dengan tatapan mata tua, tubuh kurus kering karena kurang gizi, anggota tubuh yang hilang akibat ledakan.
Faiza mencoba membantu di posko kesehatan darurat yang didirikan relawan lokal dengan sumber daya minim. Mengganti perban seadanya, membersihkan luka dengan air garam jika antiseptik habis, atau sekadar membisikkan doa untuk mereka yang meregang nyawa.
Suatu sore, saat sedang membantu membagikan bubur encer – satu-satunya makanan hari itu – ia melihat seorang anak perempuan kecil duduk sendirian, menggambar sesuatu di tanah dengan ranting. Faiza mendekat. Anak itu menggambar sebuah rumah sederhana dengan matahari besar di atasnya. "Ini rumahku sebelum hancur," bisiknya tanpa menoleh. "Nanti kalau perang selesai, aku mau matahari bersinar lagi."
Jawaban polos itu menyentak Faiza. Di tengah bulan yang hitam legam, di tengah keputusasaan yang paling pekat sekalipun, fitrah manusia untuk merindukan cahaya, untuk berharap, ternyata tak bisa sepenuhnya dipadamkan.
Harapan itu mungkin bukan lagi tentang bulan purnama yang kembali bersinar terang di langit. Harapan itu kini adalah matahari kecil yang digambar di tanah oleh seorang anak yatim piatu; harapan itu adalah sebungkus kurma yang dibagikan; harapan itu adalah doa yang dipanjatkan bersama dalam dingin; harapan itu adalah keengganan untuk menyerah pada kegelapan total.
Malam kembali turun, membawa serta dingin dan ketakutan akan serangan malam. Roket roket merah selalu berjatuhan.
Faiza menarik selimut tipis menutupi ibunya. Langit di luar tenda tetap hitam pekat. Bulan masih enggan menampakkan diri, seolah ikut berduka atas tragedi tak berujung di tanah Syam ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.