
Hutan Dirusak, Rakyat Terpinggirkan: Tambang untuk Siapa?
Info Terkini | 2025-05-01 00:42:22
Sudah lebih dari dua dekade reformasi berjalan, namun praktik perampasan ruang hidup rakyat atas nama investasi masih saja terjadi. Di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, kita menyaksikan dengan getir bagaimana tambang yang dijanjikan membawa kesejahteraan justru menyisakan kerusakan ekologis, konflik sosial, dan krisis air yang kian parah.
PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), yang mengambil alih tambang Batu Hijau dari Newmont, kini menguasai konsesi ratusan ribu hektar lahan—dari pesisir selatan Pulau Sumbawa hingga kawasan hutan di utara. Perusahaan ini bukan hanya mengeruk mineral, tetapi juga menyisakan jejak kehancuran yang masif. Hutan-hutan yang dulu hijau di kawasan Ropang, Lantung, hingga Batu Lanteh kini terkoyak. Berdasarkan data WALHI NTB, dari 1,8 juta hektar luas daratan NTB, hanya sekitar 22% hutan yang tersisa dalam kondisi baik.
Kehilangan hutan berarti kehilangan sumber kehidupan. Di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Moyo, warga mengeluhkan krisis air bersih yang semakin parah. Sumur-sumur mengering, debit sungai menurun drastis, dan sawah-sawah gagal panen. Mata air yang dulunya tak pernah surut, kini hanya mengalir saat musim hujan. Di saat yang sama, aktivitas tambang tetap berjalan tanpa henti. Yang lebih mengkhawatirkan adalah penggunaan metode pembuangan limbah tambang ke laut dalam (Deep Sea Tailing Placement/DSTP) oleh AMNT. Metode ini telah dikritik oleh banyak pakar lingkungan karena berisiko merusak ekosistem laut dalam secara permanen. Nelayan di pesisir selatan mengaku hasil tangkapan ikan menurun tajam sejak beberapa tahun terakhir. Laut yang selama ini menjadi tumpuan hidup masyarakat pesisir, berubah menjadi tempat pembuangan limbah industri.
Tak hanya lingkungan yang jadi korban, masyarakat adat pun turut tersingkir. Komunitas adat Selesek Reen Suri di Kecamatan Ropang telah berulang kali menyampaikan penolakan terhadap ekspansi tambang ke wilayah adat mereka. Tanah ulayat yang diwariskan turun-temurun dianggap “tanah negara” hanya karena belum bersertifikat. Tanpa konsultasi dan tanpa persetujuan, kawasan adat dijadikan bagian dari konsesi pertambangan. Hak masyarakat adat untuk hidup dan menentukan masa depannya sendiri dirampas secara sistematis.
Ironisnya, semua ini berlangsung dengan legalitas yang lengkap. Pemerintah daerah dan pusat kerap menyuarakan dukungan terhadap investasi, seakan-akan keberlangsungan hidup masyarakat dan ekologi dapat dikorbankan demi angka-angka pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, janji Corporate Social Responsibility (CSR) senilai ratusan miliar rupiah hanya tampak manis di atas kertas. Data yang dihimpun sejumlah LSM menyebutkan, dari klaim Rp 102 miliar dana CSR yang dikeluarkan oleh AMNT, hanya sekitar seperempatnya yang benar-benar tercatat sampai ke masyarakat dalam bentuk program langsung.
Dana bagi hasil dari kegiatan pertambangan pun tak berjalan mulus. Pemerintah Kabupaten Sumbawa belum menerima Dana Bagi Hasil (DBH) yang seharusnya menjadi hak daerah penghasil, seperti diakui oleh KPK. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya rakyat, tetapi juga daerah yang dirugikan oleh sistem pertambangan yang timpang.
Pertanyaannya kini menjadi sangat sederhana: tambang ini untuk siapa? Jika masyarakat kehilangan hutan, air, laut, tanah, dan bahkan identitasnya sebagai penjaga bumi—sementara perusahaan terus mendapat keuntungan—maka jelas bahwa tambang bukanlah alat pemerataan, melainkan alat perampasan.
Sudah saatnya kita menghentikan narasi lama bahwa tambang pasti membawa kesejahteraan. Sebaliknya, kita perlu bertanya lebih kritis: siapa yang mengambil keuntungan, dan siapa yang menanggung kerugian? Masyarakat adat, petani, nelayan, dan perempuan adalah pihak yang paling terdampak—namun suara mereka kerap tak didengar di ruang-ruang pengambilan keputusan.
Negara seharusnya berpihak pada rakyat, bukan pada modal besar. Perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat adat bukanlah penghambat pembangunan, melainkan syarat mutlak agar pembangunan itu berkelanjutan dan adil. Kita tidak bisa terus membiarkan model ekonomi ekstraktif seperti ini berjalan tanpa evaluasi.
Karena ketika hutan terakhir ditebang, sungai terakhir mengering, dan laut terakhir tercemar—kita akan sadar bahwa uang tidak bisa menggantikan kehidupan.
Oleh: Pemerhati Kebijakan Institute (PK Institute), Al Rasiq Ifan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.