Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Bulqaini

Nasionalisme dalam Novel Student Hidjo

Sastra | 2025-05-01 09:47:48

A. Latar Belakang

Sastra merupakan cerminan kehidupan yang merefleksikan realitas sosial dalam suatu periode tertentu. Sebagai salah satu media ekspresi, sastra dapat digunakan untuk menyampaikan gagasan, ide, kritik sosial, serta membangun kesadaran nasionalisme bagi para pembacanya. Salah satu karya sastra yang memiliki relevansi dengan perjuangan nasionalisme Indonesia adalah novel student hijau karya Marco Kartodikromo. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1918 dan menggambarkan kehidupan seorang pemuda pribumi dalam menangkap realitas kolonialisme Belanda pada saat itu.

B. Biografi

Marco memulai karirnya Pada tahun 1905 sebagai pegawai di Naderlansch Indische Spoorweg, Tempat di mana ia belajar bahasa Belanda. Namun, ia kemudian beralih menjadi wartawan. Karir jurnalistiknya dimulai ketika bergabung dengan surat kabar Medan Prijaji yang dipimpin Tirto Adhisoerjo Di Bandung pada tahun 1911. Mas Marco dianggap sebagai murid kesayangan Tirto pendiri Indlandsche Joornalistenbond (IJB) Yang menerbitkan buku berjudul Doenia Bergerak.

C. Tem

Tema yang dapat disimpulkan dari cerita Dalam buku yang berjudul student ijo yaitu sikap nasionalisme pada novel student hijau yang mempengaruhi kritik sosial terhadap kolonialisme.

D. Latar

1.) Latar Tempat

Solo, Stasiun balapan, Kabangan, Kabupaten Jarak, Baturaden, Haagsche Bosch, Den Haag, Prinsesse Schouwburg, Rumah Direktur, Hotel, Sriwedari.

2.) Latar Waktu

Berlatar Pagi, Malam Hari, Siang Hari,Sore.

E. Alur

Novel student hijau mengisahkan perjalanan seorang pemuda pribumi bernama hijau yang dikirim ke Belanda untuk menuntut ilmu. Dengan menggunakan alur maju, cerita berkembang secara kronologis dari awal hingga akhir tanpa banyak kilas balik. Hal ini menggambarkan bagaimana hijau beradaptasi dengan kehidupan di negeri Belanda, dan menghadapi perbedaan budaya, serta mengalami berbagai konflik yang membentuk pandangannya terhadap dunia baik dari sisi Belanda maupun sisi pribumi.

F. Tokoh dan Penokohan

a. Hidjo

Merupakan seorang yang cerdas dan ambisius. Pergi ke Nederlands Belanda untuk melanjutkan pendidikan merupakan bukti yang nyata bahwa manajer sangat ambisius

b. Wungu

Merupakan seorang perempuan yang ramah, iya begitu pengertian dan menghargai perasaan orang lain. Walaupun ia mengetahui sang pujaan hatinya hendak bertunangan dengan R.A Biru yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri dengan ikhlas hati mengalah dan rasa sukanya asalkan dia bisa tetap bersama dan berteman dengan biru

c. Controleur Walter

Digambarkan sebagai seorang pejabat Belanda yang bertindak sebagai pengawas atau kontrolir. Walaupun memiliki jabatan sebagai pengawas dan memiliki nama ia tetap tidak sombong dan tidak bersikap superioritas terhadap pribumi.

d. Wardoyo

Wardoyo adalah salah satu tokoh yang mewakili kaum pribumi terpelajar. Wataknya digambarkan sebagai orang yang cerdas, bijaksana, dan nasionalis.

e. Biru

Digambarkan sebagai sosok wanita pribumi yang Anggun, lemah lembut, dan berpendidikan. Sebagai anak seorang bangsawan, ia memiliki kehalusan budi pekerti dan kecerdasan yang mencerminkan kaum perempuan terpelajar pada masa itu.

f. Betje

Ia adalah seorang gadis Belanda yang berperan signifikan dalam novel Student Hidjo. Iya digambarkan sebagai sosok yang ceria, banyak bicara, dan memiliki ketertarikanku terhadap Hidjo, tokoh utama dalam cerita ini.

G. Amanat

Novel ini Memiliki banyak sekali amanat yang dapat diambil. Namun, salah satu pesan yang dapat disampaikan ialah mengenai pentingnya kesadaran nasionalisme dan identitas diri bagi pribumi, terutama ketika harus berhadapan dengan pengaruh budaya asing di masa kolonial. Melalui perjalanan hidup tokoh utama, penulis memperlihatkan bagaimana pendidikan barat dapat memberikan manfaat, dan akan tetapi juga memberikan rintangan dalam mempertahankan nilai-nilai budaya yang sudah tertanam didalam diri.

Novel Student Hidjo karya Marco Kartodikromo terdapat beberapa kritik sosial terhadap keadaan masyarakat pada masa kolonial.

1. Kritik pertama yang ditemukan peneliti dalam novel ini berkaitan dengan

perbedaan status sosial antara pribumi dan pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial memandang rendah masyarakat pribumi, terutama mereka yang berasal dari kalangan biasa.

“Orang Jawa kotor. Orang Jawa bodoh, orang Jawa malas, orang Jawa tidak beschaafd. Pendeknya orang Jawa atau orang Hindia itu adalah bangsa yang paling busuk sendiri!”

2. Kritik kedua memeperlihatkan ketidakadilan dalam hak pendidikan.

Pemerintah kolonial berpikir bahwa kecerdasan pribumi tidak akan pernah setara dengan orang-orang Belanda, karena mereka dianggap tidak memiliki kemampuan yang cukup.

Waktu Hidjo melihat opera sebagaimana tersebut diatas, hatinya menjadi tergoncang. Seolah-olah cerita itu menyindir dirinya. Nona-nona anak direktur yang duduk berjejer di samping kanan kiri Hidjo selalu mengeluarkan perkataan sindiran yang ditujukan kepada Hidjo.

“Tuan Hidjo!” kata salah seorang nona teman Hidjo. “Apakah akhirnya Tuan hendak berbuat seperti Faust itu? Sebab sekarang ini tuan suka belajar. Tetapi akhirnya pertanyaan itu tidak dijawab oleh Hidjo. Tetapi dia menggigit bibir bawahnya sambil seperempat tertawa, yaitu suatu tanda bahwa di dalam hait Hidjo ada sebuah bayangan yang belum tampak dengan jelas.

3. Novel ini juga mengangkat kritik terhadap perilaku kesopanan. Dalam

cerita, Hidjo mengalami penghinaan dari seorang wanita Belanda yang merendahkan asal-usulnya sebagai orang Jawa. Hidjo menyuruh ketiga orang perempuan itu supaya berjalan di depan, karena jalannya amat sempit dan jelek. Tetapi gadis yang mengaku capek itu, asal ada jalan yang basah sedikit selalu minta tolong kepada Hidjo supaya dicarikan jalan yang sedikit kering supaya tidak membuat kotor sepatunya yang berkilat-kilat serta pakaian sutera yang dipakainya. Sudah tentu, Hidjo terpaksa menolong gadis itu.

4. Kritik selanjutnya berkaitan dengan perbedaan budaya Barat dan Timur.

Dalam novel ini, budaya Barat digambarkan sebagai kebudayaan yang bebas, dengan wanita-wanita Belanda yang gemar menarik perhatian dan bersikap genit. Sebaliknya, budaya Timur yang direpresentasikan oleh Hidjo menunjukkan sikap yang lebih sopan dan menghargai norma-norma sosial.

"Di Negeri Belanda yang paling membahayakan bagi anak-anak muda adalah masalah perempuan.”

5. Kritik yang berhubungan dengan perlakuan yang berbeda antara pemerintah

kolonial dan masyarakat Belanda terhadap pribumi. Pemerintah kolonial memperlakukan penduduk Hindia Belanda dengan sewenang-wenang. Namun, ketika Hidjo tiba di Belanda, masyarakat di sana justru memperlakukannya dengan hormat. Hal ini menunjukkan bahwa orang Belanda hanya akan menghargai pribumi jika mereka memiliki status ekonomi yang baik dan dianggap mampu.

6. Kritik terakhir dalam novel ini berkaitan dengan pernikahan. Masyarakat

pribumi menolak pernikahan campuran antara bangsa Eropa dan Jawa karena dianggap dapat merusak tradisi. Hal ini terlihat dari pernyataan ibu Hidjo yang tidak ingin anaknya jatuh cinta pada wanita Belanda. Pada akhir cerita, Marco Kartodikromo menegaskan bahwa bangsa Barat akan tetap menjadi Barat, sedangkan bangsa Timur akan tetap menjadi Timur, karena ia menolak adanya percampuran antara kedua budaya tersebut.

Hidjo telah kawin dengan R.A. Wungu dan hidup senang sebagai jaksa di Jarak. Wardoyo sudah jadi regent di Jarak, mengganti papanya. Dia pun hidup rukun di kabupaten itu dengan R.A. Biru. Walter sudah kembali dari verlof, ia menjadi assistent resident di Jarak dan telah mempunyai istri, yaitu Betje. Adapun Onderwijzeres Nona Jet Roos telah kawin dengan Administrateur Boeren, sobat karib Willem Walter dan juga bertempat tinggal di Jarak.

Novel Student Hidjo mengkritik kolonialisme dengan memperlihatkan bagaimana pribumi mendapat perlakuan tidak adil oleh pemerintah kolonial. Dalam kajian poskolonial, hal ini menunjukkan bahwa kolonialisme menciptakan perbedaan sosial dengan membuat pribumi merasa lebih rendah agar lebih mudah untuk dikendalikan. Pemerintah kolonial menyebarkan pandangan negatif tentang pribumi dan membatasi kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan, hal ini termasuk dalam teori poskolonial yang disebut epistemic violence atau kekerasandalam dunia pengetahuan. Selanjutnya, novel ini juga menampilkan bentuk perlawanan, terutama dalam upaya mempertahankan budaya dan identitas pribumi. Dalam perspektif poskolonial, hal ini disebut cultural resistance, yaitu usaha masyarakat jajahan untuk menolak pengaruh asing dan tetap menjaga tradisi mereka. Dengan begitu, Student Hidjo tidak hanya mengkritik kolonialisme, akan tetapi juga menggambarkan bagaimana pribumi menghadapi dan melawan dampak penjajahan.

H. SIMPULAN

Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam kajian ini, dapat disimpulkan bahwa novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo ini ternyata bukan hanya sekadar karya sastra, tetapi juga merupakan bentuk kritik sosial terhadap kolonialisme Belanda serta sarana untuk membangun kesadaran nasionalisme. Novel ini memperlihatkan bagaimana kolonialisme mempengaruhi kehidupan masyarakat pribumi, baik dari segi sosial, politik, maupun budaya, dengan menyoroti pergulatan batin seorang pemuda pribumi yang menempuh pendidikan di Belanda.

Novel ini menggambarkan perjalanan Hidjo sebagai cerminan dilema kaum intelektual pribumi pada masa kolonial. Hidjo dihadapkan pada kebingungan identitas: di satu sisi, ia mengagumi kebebasan dan modernitas budaya Barat, tetapi di sisi lain, ia tetap terikat pada nilai-nilai budaya dan adat Jawa. Pergulatan ini menggambarkan bagaimana kaum pribumi terpelajar pada masa itu sering kali mengalami kesulitan dalam menentukan jati diri mereka. Marco Kartodikromo menggunakan novel ini sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme di kalangan pribumi. Melalui kisah Hidjo, novel ini mengajarkan bahwa modernisasi dan pendidikan Barat tidak boleh membuat pribumi kehilangan jati dirinya. Pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk membangun kesadaran akan hak-hak pribumi dan melawan penjajahan, bukan sebagai alat asimilasi ke dalam budaya penjajah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image