
Brand Ramah Lingkungan atau Sekedar Kata? Etika Iklan dalam Greenwashing
Edukasi | 2025-05-06 08:02:43Kondisi lingkungan kini makin memprihatinkan di Indonesia, menjadi isu yang membuat marsyarakat sendiri menjadi semakin aware. Istilah seperti “eco-friendly”, “suistainable” dan “green” menjadi kata andalan dalam salah satu strategi suatu brand atau merk untuk branding dalam beriklan pada umumnya. Konsumen masa kini semakin selektif, mereka tak hanya membeli produk, tetapi juga melihat nilai dan komitmen dibaliknya. Menyadari hal ini, ada beberapa perusahaan berlomba-lomba menyatakan produknya dengan narasi, produknya ramah lingkungan, berjuang keberlanjutan ataupun menyelamatkan bumi demi memenangkan hati publik.

Namun, dibalik kemasan produk yang jargonnya ramah lingkungan, tidak sedikit yang menyisipkan ilusi ketimbang komitmen nyata. Fenomena ini dikenal dengan istilah Greenwashing, yakni ketika sebuah brand mengenalkan dirinya dengan peduli terhadap lingkungan, namun nyatanya tindakan tersebut membuahkan minim atau bahkan bertentangan. Dalam konteksnya, greenwashing telah menjadi bentuk manipulasi public melalui iklan yang menyesatkan, melanggar prinsip dasar etika periklanan dalam transparansi, kejujuran dan tanggung jawab sosial.
Aksi ini pun terjadi pada brand luar yang eksis di Indonesia, Adapun Uniqlo dan Unilever.
1. Uniqlo: Fast Fashion dengan dilabeli Keberlanjutan

Uniqlo yaitu brand pakaian asal Jepang yang dikenal luas karena menawarkan pakaian kasual berkualitas tinggi & nyaman. Uniqlo dengan kelebihan dari pakaiannya diterima dengan baik di pasar Indonesia. Uniqlo sempat meluncurkan kampanye “Uniqlo Sustainability: Unlocking the Power of Clothing” yang berfokus pada keberlanjutan lingkungan. Kampanye ini menunjukkan Uniqlo sebagai brand aware dengan isu lingkungan dan sosial, ditambah klaim bahwa produk mereka diproduksi dengan ramah lingkungan, menghargai hak setiap manusia dan berkontribusi bagi masyarakat global.
Namun, Uniqlo sayangnya tetap beroperasi sebagai bagian dari industri fast fashion, brand tersebut tetap dihadapi kritik yang terkait kampanyenya. Meskipun mengklaim fokus pada pakaian tahan lama dan berkualitas, model bisnis mereka mendorong konsumsi berlebihan yang bisa memperparah masalah lingkungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah mereka benar berkomitmen terhadap keberlanjutan atau sekedar greenwashing untuk menarik perhatian konsumen?
Kampanye “sustainabilty” mereka masih dipertanyakan tentang limbah tekstil yang dihasilkan. Dikutip dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2024, limbah kain menyumbang 2,5% dari total volume sampah. Dilansir dari berbagai sumber, Jawa Barat menyumbang 45% dari total sampah kain di Indonesia. Hal ini bukan sekedar angka, namun ancaman serius bagi lingkungan.
2. Unilever Indonesia: “Every U Does Good” yang dipertanyakan

Unilever adalah Perusahaan multinasional yang bergerak di bidang produk kebutuhan sehari-hari seperti makanan, minuman, produk kebersihan, perawatan tubuh dan rumah tangga. Unilever hadir di Indonesia sejak 1933 dan menjadi salah satu Perusahaan FMCG (Fast Moving Consumer Goods). Unilever Indonesia meluncurkan kampanye “Every U Does Good” yang mengajak individu maupun Perusahaan untuk memberikan kebaikan bagi lingkungan dan Masyarakat. Namun, klaim ramah lingkungan ini mendapat highlight karena beberapa produk Unilever sendiri masih menggunakan kemasan plastik sekali yang sulit didaur ulang.
Dikutip dari Greenpeace, Unilever dalam memenuhi target pengurangan kemasan plastiknya masih melemah dengan upaya beralih dari plastik sekali pakai ke solusi pakai ulang. Meskipun berjanji untuk mengurangi separuh penggunaan plastik murni pada tahun 2025 ini, Greenpeace menyatakan bahwa Unilever tampaknya akan melampaui target ini hampir satu dekade hingga tahun 2034. Hal ini tandanya masih belum terlihat dan transparan dari tindakan nyata Unilever.
Tindakan greenwashing tidak hanya melanggar dari segi etika periklanan, tetapi juga berpotensi melanggar hukum di Indonesia. Klaim keberlanjutan yang tidak didukung aksi nyata dapat menyesatkan konsumen dan menciptakan persepsi yang salah tentang dampak lingkungan dari produk yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Selain itu , greenwashing juga dapat melanggar hak Masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat tentang Lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam pasal Pasal 68 huruf (a) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, transparan, dan tepat waktu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.