
Anak adalah Aset Peradaban
Agama | 2025-05-20 06:54:39
Anak-anak menjadi bagian penting dalam kehidupan kita. Tidak hanya menjadi penyejuk mata bagi ayah dan bunda, namun pada skala yang lebih besar mereka adalah pemegang tongkat estafet kepemimpinan. Merekalah yang akan menggiring umat ke arah perubahan hakiki. Tidak sekadar berubah, tetapi memastikan umat bergerak menuju keridaan Allah ta'ala.
Anak-anak yang saat ini berada dalam pengasuhan rumah-rumah keluarga muslim, yang kelak menjaga barisan umat. Ada yang berdiri di depan barisan, mengarahkan visi misi umat agar fokus pada kebangkitan. Ada yang berdiri di samping, menjaga agar barisan tetap lurus, tidak berpaling pada pemahaman yang merusak. Dan ada juga yang berdiri di belakang barisan, untuk membimbing yang lemah langkahnya, agar tak tertinggal. Mereka akan memastikan agar kaum muslim senantiasa berada dalam kebaikan.
Tanggung jawab ini tentu tidak mudah, tetapi sejatinya kaum muslim memang telah dipetakan untuk memimpin dunia. Bahkan mereka disebut sebagai umat terbaik (khairu ummah). Karenanya sedari dini mereka perlu persiapan paripurna. Fisik dan psikis mereka memerlukan asupan baik yang datangnya dari Islam, sehingga apapun profesi atau peran mereka, akan dikerjakan dengan penuh amanah serta ketundukan kepada Allah SWT.
Maka keluarga berperan penting melakukan kaderisasi pertama, untuk menggali dan mengembangkan potensi anak-anak. Keluarga menjaga mereka, memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan, sedangkan negara memfasilitasi seluruhnya.
Termasuk yang menjadi kewajiban negara adalah menyediakan lapangan pekerjaan yang luas agar para kepala keluarga mampu menafkahi orang-orang yang berada di dalam tanggung jawabnya. Negara juga tidak boleh diam, tetapi wajib mengerahkan segala daya yang dimiliki untuk membentuk generasi unggulan yang siap mengemban tugas kebangkitan.
Sedangkan masyarakat sebagai mekanisme kontrol, senantiasa mengawasi, bersegera memberikan nasihat, mengajak pada yang ma'ruf, mencegah kemungkaran dan pelanggaran yang muncul kepada tumbuh kembang anak.
Termasuk menjaga keimanan anak-anak. Maka negara wajib memberikan regulasi yang baik untuk memastikan kehidupan Islam berjalan di sekitar mereka. Jika seluruhnya ditegakkan sesuai ketentuan syariat, maka wajar jika manusia kecil ini benar-benar menjadi aset bagi orang tua dan juga peradaban, yang memiliki pola pikir (aqliyah Islam) dan pola sikap (nafsiyah Islam).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا مَاتَ الاِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مَنْ شَلاَثَةِ : إِلاَّ مِنْ صَدَ قَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Dari Abu Hurairah : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila manusia itu telah mati maka terputuslah dari semua amalnya kecuali tiga perkara sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak shalih yang mendo’akannya” [Riwayat Muslim dan lain-lain]
Saat hal tersebut tidak mampu dipenuhi, maka target menjadikan mereka sebagai aktor perubahan, tentu menjadi sulit tercapai. Apalagi jika negara tidak andil dalam pembentukan kepribadian generasi. Alhasil setiap keluarga bersusah payah, menanggung beban yang berat dalam pengasuhan. Maka wajar jika jumlah anak, akhirnya menjadi masalah. Semakin banyak anak, semakin berat beban keluarga.
Begitu pula pada sistem ekonomi kapitalis yang berlaku hari ini, penambahan manusia dianggap sesuai deret ukur sedangkan sumber daya bertambah sesuai deret hitung. Hingga muncul asumsi tidak cukupnya makanan di muka bumi bagi seluruh manusia yang ada. Menurut Malthus, seorang ahli Ekonomi Inggris, pertumbuhan populasi cenderung melampaui pertumbuhan produksi pangan. Padahal teori ini sama sekali tidak terbukti.
Dalam Islam setiap muslim wajib meyakini bahwasanya rezeki di muka bumi ini cukup bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah SWT,
“وَما مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ”
Artinya: "Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS Hud: 6)
Maka tugas negara untuk menyalurkan rezeki bagi setiap keluarga, melalui penerapan sistem ekonomi Islam. Di sana terdapat pengaturan kepemilikan yang benar, sehingga seluruh harta tersebar tepat sasaran. Allahu Rabbi telah mengaturnya dengan sebaik-baik pengaturan, hingga negara memiliki pos-pos tersendiri untuk mengelola urusan rakyat.
Berbeda halnya dengan sistem ekonomi kapitalis yang justru menyebabkan kemiskinan, sehingga rakyat susah memperoleh akses kepada barang-barang yang bernilai ekonomi. Kesenjangan antara si kaya dan miskin semakin lebar, seperti yang disampaikan Majalah Forbes bahwa total harta 50 orang terkaya di Indonesia tembus US$263 miliar atau setara Rp4209,25 triliun. Dalam sistem ekonomi kapitalis, negara berpihak pada kapital dan mengabaikan urusan rakyat.
Hingga wajar saja jika solusi pragmatis yang diambil seperti vasektomi (pembatasan kelahiran secara permanen) untuk mengatasi kemiskinan. Padahal vasektomi haram di dalam Islam. Hanya boleh dilakukan ketika ada indikasi medis. Pun seorang individu tak boleh takut miskin, seperti masyarakat Arab jahiliyah dulu yang akhirnya membunuh anak-anak mereka. Karena faktanya penyebab kemiskinan adalah akibat salah kelola, yaitu ketika perekonomian negara tidak diatur dengan hukum Allah.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib mengelola seluruh urusan umat dan menjamin setiap anak dapat tumbuh dengan baik hingga mereka menjadi aktor perubahan.
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu ’anhu bahwa Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dll.)
Islam adalah sebuah sistem yang menyajikan tatanan kehidupan yang penuh dengan kemuliaan. Tatkala manusia berkhidmat terikat pada syariat, saat itulah rahmat Allah dirasakan bagi semesta alam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.