
Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Islam
Agama | 2025-05-21 13:58:31Oleh: Muhammad Syafi'ie el-Bantanie
(Founder Edu Sufistik)
Tahukah kita salah satu metode pembelajaran terbaik para nabi? Sayangnya, metode pembelajaran ini rasanya semakin hilang dari pendidikan kita, baik pendidikan di rumah, sekolah, pesantren, maupun masyarakat. Akibatnya, pendidikan mungkin melahirkan manusia-manusia cerdas, namun miskin iman dan adab. Ilmunya berhenti sampai akalnya (tsaqafah), tidak sampai menembus hatinya (hikmah).
Saya ingin memulai diskusi kita dengan mengutip salah satu ayat Al-Qur’an favorit saya. Biasanya saya menginsyafi ayat ini saat menjelang tidur, membuka pintu rumah dan menatap langit lepas nan damai, atau ketika turun hujan lebat disertai petir menggelegar.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 190 – 191).
Bila ayat di atas disederhanakan dengan satu kata, maka kata yang mewakili adalah tafakur. Tafakur berbeda dengan tadabur. Tadabur objeknya adalah teks, yakni ayat Al-Qur’an (ayat qauliyah). Sedang, tafakur objeknya adalah semesta (ayat kauniyah). Bila kita mencermati Al-Qur’an, maka begitu banyak ayat yang menerangkan tentang semesta. Bahkan, jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat tentang hukum dan ibadah.
Kemudian, bila kita telisik lebih dalam, setiapkali Al-Qur’an menerangkan tentang kompleksitas alam semesta, namun berjalan serasi dan seimbang, maka diujungnya mesti ditutup dengan pesan terpenting, yaitu iman kepada Allah. Bahwa, itu semua tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Bahwa, Allah-lah pencipta dan pengendali semesta jagad raya. Hanya Allah. Esa. Tiada sekutu bagi-Nya.
Inilah tafakur. Mengamati semesta jagad raya dan semua yang ada di dalamnya sampai merasakan dalam hati kebesaran dan kekuasaan Allah. Mengamati langit, bulan, bintang, matahari, pepohonan, buah-buahan, binatang, gunung, laut, hujan, petir, termasuk merenungkan diri sendiri.
Inilah metode yang diajarkan Allah kepada para nabi-Nya. Maka, kita mengenal para nabi itu ahli tafakur. Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Yahya, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ahli tafakur. Bahkan, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menjadi ahli tafakur sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul dengan sering ber-tahanus di Gua Hira.
Salah satu Nabi ahli tafakur yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini adalah Nabi Yahya ‘alaihissalam. Sedari kecilnya Yahya ‘alaihissalam sudah senang bertafakur. Imam Ibnu Katsir, dalam kitabnya Qashahil Anbiya, menceritakan, “Satu hari, Nabi Zakaria ‘alaihissalam tidak mendapati Yahya seharian. Sedari pagi hingga senja hari, tak dilihatnya Yahya.
Nabi Zakaria khawatir Yahya dibunuh para rabi Yahudi. Kekhawatiran ini beralasan mengingat sedari kecilnya Yahya telah memahami Taurat dengan baik. Sementara, para rabi Yahudi hobinya memalsukan ayat-ayat Taurat dan memperjualbelikannya dengan harga yang murah. Yahya kerap mengoreksi kekeliruan para rabi Yahudi.
Maka itu, Nabi Zakaria mencari Yahya ke berbagai tempat. Hingga ditemukanlah Yahya tengah berada di sebuah kebun terduduk termangu. Nabi Zakaria mendekat. Dilihatnya anak kesayangan, yang dinanti-nantinya hingga lanjut usianya, itu tengah menangis sesenggukan. Di hadapannya ada lubang persis menyerupai liang lahat.
“Wahai anakku tersayang, apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Nabi Zakaria.
“Wahai ayahku tersayang, bukankah engkau yang menerangkan bahwa api neraka hanya dapat dipadamkan oleh tangisan karena takut kepada Allah dan mengharap rahmat-Nya?” jawab Yahya.
“Aku pandangi liang lahat ini dengan penuh penghayatan dan penginsyafan sambil berbisik lirih dalam hati, ‘Wahai Yahya, inilah kelak rumahmu sebenarnya. Apa yang sudah kau persiapkan untuk menghadapi kematian? Bekal apa yang sudah kau kumpulkan untuk menjumpai Tuhanmu? Di manakah kelak tempatmu di akhirat? Surgakah atau nerakakah? Aku duduk di sini dan terus gelisah memikirkan nasibku di hadapan Allah kelak.’”
Ketika itu Yahya ‘alaihissalam masih berusia tujuh tahun. Bayangkan, anak usia tujuh tahun telah memiliki kebiasaan bertafakur. Pikirkan anak usia tujuh tahun telah mampu memikirkan perkara akhirat. Melalui kebiasaan bertafakur inilah, Yahya diberikan hikmah sedari kecil oleh Allah. Hikmah adalah ilmu yang mengantarkan pada iman kepada Allah, ketaatan dan ketundukkan total kepada-Nya. Ilmu yang menjadikan pemiliknya memiliki kearifan, kebijaksanaan, kelembutan hati, dan ketajaman firasat.
Al-Qur’an menerangkan tentang Yahya, “Wahai Yahya, ambillah (pelajarilah) kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” Dan Kami berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak. Dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dan dia pun seorang yang bertakwa.” (QS. Maryam [19]: 12 – 13)
Kini, mari kita tengok metode pembelajaran dalam pendidikan di rumah-rumah dan sekolah-sekolah kita? Adakah anak diajak dan dibiasakan bertafakur? Bagaimana pelajaran sains disajikan? Apakah membuat anak semakin dekat kepada Allah ataukah malah menjadikannya menjauh dari-Nya? Apakah anak menjadi semakin beriman ataukah malah menjadi sekuler?
Karena itu, di sinilah pentingnya kita melakukan reorientasi pembelajaran dan pendidikan. Pendidikan mestinya menjadikan anak semakin menghayati keimanannya kepada Allah. Membuat anak semakin mulia adabnya. Dan, dengan sepenuh hati dan segenap jiwa rela berkorban untuk agama Islam yang dicintainya.
Sebagai penutup, mari kita tengok bagaimana baginda nabi tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaplikasikan tafakur dalam proses pendidikan para sahabatnya, sebagaimana direkam Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya.
Suatu ketika, Rasulullah dan para sahabat berjalan-jalan menyusuri Madinah. Di tengah perjalanan, Rasulullah mendapati seonggok bangkai kambing yang mulai membusuk.
“Adakah di antara kalian yang mau membeli bangkai ini?” tanya Rasulullah.
Para sahabat bingung dan merasa ada yang tidak biasa dari pertanyaan Rasulullah. Mereka saling berbisik-bisik untuk mencari adakah yang mau membelinya? Ternyata tidak ada seorang pun sahabat yang mau membeli bangkai kambing itu.
“Ya Rasulullah, jangankan membeli bangkai kambing itu, andai diberikan gratis pun, kami tidak mau,” jawab para sahabat.
“Ketahuilah, dunia dan semua isinya di sisi Allah tidak lebih berharga daripada bangkai kambing ini bagi pemiliknya,” terang Rasulullah.
Rasulullah melanjutkan, “Andai dunia dan semua isinya di sisi Allah nilainya melebihi sehelai sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberikan dunia kepada orang-orang kafir meski seteguk air.” Demikian Imam At-Tirmidzi meriwayatkan.
Cermatilah, bahkan perjalanan biasa sekalipun, bisa diubah oleh Rasulullah sebagai pembelajaran yang mencerahkan. Pantaslah generasi sahabat tumbuh berkembang menjadi generasi terbaik. Generasi yang sangat mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka. Generasi yang sangat mencintai Islam dan rela berkorban untuk agamanya.
Sudahkah tafakur menjadi metode pembelajaran dalam pendidikan kita?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.