Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alit Teja Kepakisan

Kemubaziran Nulis Sejarah Ulang

Politik | 2025-05-30 21:15:26

Pak Menteri Kebudayaan, Fadli Zon (baca : Fadli Zon Official), akan melakukan gebrakan dengan apa yang disebut sebagai ‘official history’ , ya intinya peresmian sejarah lah. 80 tahun, kata Fadli Zon, bahwa ini adalah hadiah kepada kemerdekaan. Sebenarnya, saya sih gak terlalu mempermasalahkan, walaupun katanya melibatkan sejarawan ini itu, up to you. Kan intinya pakai APBN? Itu jelas, dong. Tapi yang harus disoroti adalah apa ‘iya’ sebenarnya kita perlu meresmikan? FYI, Fadli Zon adalah orang yang pada saat ILC pada 2016 membahas Soeharto Pahlawan Nasional, adalah orang yang paling pro. Apalagi waktu sekitar 2022-lah, kayaknya April, itu orang yang paling keras menentang Keppres yang dikeluarkan mengenai Serangan Umum 1 Maret, dan hilangnya nama Soeharto.

Tapi, penelitian yang pakai APBN ini, sebenarnya cenderung harus dilihat secara struktural. Satu saja misalnya mengandaikan ini diterapkan ke kurikulum. Saya sih udah biasa aja dan gak heran, bahwa ganti menteri, ganti kebijakan (pendidikan yang paling tersorot sih emang, dananya besar! 20% dari APBN untuk pendidikan). Selama ini, saya yakinlah, banyak ulasan YouTube, TikTok, atau Pesbuk, misalnya, itu kalau ada yang mengulas sejarah pasti selalu ada keyword : tidak ada diajarkan di sekolah. Ini lagu wajib, lho. Bukan kata saya, banyak sekali, gak cuma sekali. Artinya, di tengah anak SD bahkan SMP ditambah ranking PISA yang gak naik – naik itu, apa iya ngerti? Jangankan ngerti, doyan baca gak?

Tapi, yang saya itu agak heran, sebenarnya ini hanya untuk merayakan 80 tahun saja kah? Apakah proyek ini akan dilakukan dengan cara – cara “Bandung Bondowoso”? Mari kita ulas.

Meresmikan yang Resmi, Mubazir Gak Si?

Saya ketika membaca headline saja itu berita (belum masuk ke web-nya atau isi beritanya), itu bahwa ada mau melakukan pelurusan sejarah dan diresmikan. Nah, ketika nampak saja wajah Bang Menteri ini, saya menebak ada PKI! Eh, dugaan saya gak salah. Isinya memang demikian. Jangan – jangan, wartawan yang tanya ini gak observasi dulu kah soal latar belakang orang? Jelas lah! Madiun dan Namlima (1965) itu jelas akan masuk. Saya sih sudah apa ya, bahasanya itu sudah gak terlalu mementingkan. Tapi, pengetahuan saya sebagai Genzet (Gen Z, maksudnya), bukannya PKI itu sudah resmi ya sejarahnya? Gak cuma film karya Arifin C. Noer, tapi juga ada TAP MPRS XXV/1966, ini resmi dari peresmian segala – galanya.

Sudah diresmikan TAP MPRS (sekali lagi, itu lembaga tertinggi negara), ada filmnya lagi. Dan, untuk nonton itu, gak perlu beli tiket dan cari tempat duduk di bioskop yang ada kata duasatu-nya. Tapi, sudah jelas sekali bahwa itu resmi. Tapi, itu sudah resmi dulu pada waktu Orbah, kok sekarang malah diresmikan lagi? Mubazir gak sih? Kita inget dong, baru tahun pertama Kabinet Merah Putih (KMP) saja sudah keteteran dan digempur oleh potong dan pangkas ini itu, ini mubazir jelas sekali. Nah, kan Be-Ge-En (BGN) lagi perlu anggaran, ini bisa deh dialokasikan. Kira – kira begitu.

Jadi, menurut saya, caranya adalah suruh si anak itu nonton bareng orang tuanya film Pengkhianatan G30S PKI itu, plus juga Djakarta 1966. Dua – duanya karya Arifin C. Noer. Harus itu, tapi dibimbing oleh orang tuanya. Tetapi, si guru harus menjelaskan via grup kalau jangan nonton itu berisik Idul atau Badul (maksudnya, Ibu dulu atau Bapak dulu), cukup ajak nonton dan tatar bahwa PKI itu kejem! Tapi syarat dan ketentuan ini berlaku mungkin yang orang tuanya se – generasi Pak Menteri ini, merasakan P4, wajib nobar. Kalau yang bukan generasi itu, saran saya sih, ya, ini sekedar saran aja, habis nonton itu bacakan anak sebelum tidur buku John Roosa atau suruh putar playlist khusus untuk yang ber Jas Merah yakni Muhidin M. Dahlan. He-he-he.

Tapi, poin saya adalah bahwa ini bisa kok untuk efisiensi. Kan ini positif, toh? Di tengah anggaran cekak dan sibuknya negosiasi dengan Donal Teram atau keracunan MBG, jauh sih lebih baik demi efisiensi, kan gitu kira – kira, ini saran yang baik, bisa kasi juga nanti duitnya buat sejarawan yang sering dibilang itu kan pasti lembur, nih. Masa menu makannya kayak MBG, yakali!

Doyan Baca Enggak, Gurunya Juga Emang Ngerti?

Kalo saya kasi statistik, nanti kesannya kayak ekonom. Tapi, udahlah, begitu banyak report yang bisa di guggling terutama soal ranking PISA. Ada gak sih kenaikan signifikan di balik gonta – ganti kurikulum (baca : sebenarnya gonta – ganti nama)? Kan gak ada. Budaya literasi (sebagai salah satu indikator dalam PISA), itulah yang tidak naik signifikan. Kalau bacanya saja rendah, gimana mudeng sains dan matematika-nya? Pada intinya, ini business as usual with more money. Ganti ini itu, beres deh. Isinya sama saja. Tapi, yang mau saya agak lihat bahwa hal yang struktural seperti ini, kalau direnungkan akan menjadi hal yang sia – sia.

Coba deh, berapa sih buku resmi terbitan dari Kemendikdasmen (dulu Kemendikbud, di jaman Jokowi jadi panjang, Kemendikbudristek), yang dijadikan catatan kaki di buku – buku sejarah? Emangnya, pernah tuh ada kliping yang se-serius dan se-sistematis a la Kronik - nya Bang Muhidin M. Dahlan itu dari arsip negara atau buku Kemendikbud lah minimal? Gak ada. Bahkan, buku sejarah – sejarah , sepanjang yang saya koleksi, itu jarang sekali menjadi acuan itu buku. Paling banyak mengutip Ricklefs-lah yang 1200-2008.

Saya yakinlah, nanti sejarawan yang menulis karya ‘official history’ ini akan menggunakan bukunya sebagai acuan (itu pun kalo nulis atau pernah nerbitkan buku, ya. Minimal jurnal akademik, lah). Nah, masalahnya nanti buku ini akan jadi bahan ajar (atau modul) di sekolah (dasar dan menengah, mungkin tinggi juga ya), tapi kalau pun ini ter-demokratisasikan, apakah hanya akan upload lalu diam di perpustakaan yang sudah Tbk. yakni E-Media DPR? Eh, saya sendiri juga nggak yakin, yang mau baca itu jumlahnya 10% dari jumlah penduduk kita. Paling gak, ya si sejarawan itu sendiri yang paling baca. Sesuai kebiasaan kita, kalau pernah terbit artikel ya kita sendiri yang baca.

Tapi, saya juga teringat kenapa proyek ini super mubazir. Coba lihat, budaya baca itu tumbuh, hanya saja itu syarat dan ketentuan berlaku. Budaya (Bakar) Baca-(An), lengkapnya, Budaya Bakar Bacaan! Itulah sesungguhnya budaya yang sesungguhnya ada. Entah siapa kemarin yang bakar buku-nya Najwa Shihab itu kemarin, mereka yang bakar pikir apa semua orang kalau mau beli buku ori itu harus mikir dulu, terutama kita yang low middle ini. Ya kan. Nah, ini mubazir sekali.

Jadi, saya kira hal yang cukup serius adalah Pak Menteri gak hanya cukup sibuk membuat produk. Coba, hal yang prinsip. Kan kebetulan nih, Pak Menteri itu sudah doktor (sekali lagi, doktor), coba di share budaya bacanya juga. Kan bisa tuh, di programkan. Karena ini yang lebih krusial, termasuk juga mengajak kalau sudah budaya baca-nya tumbuh, untuk selalu membeli buku ori. Nah, kalau sudah beli buku ori dan budaya bacanya tumbuh, mau 1000 jilid pun, orang akan ngerti bahwa 350 tahun dijajah oleh para nekolim yang jaim eh zalim maksudnya, itu artinya bukan sekedar takluk, tunduk ini itu. Jadi, gak perlu mengubah pakai APBN dan print nanti banyak atau ditaruh di pdf sebagai etalase di E-Media DPR, yang notabene anggota DPR kayaknya jangankan ngerti, baca aja enggak. Kira – kira begitulah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image