Cost Recovery Dinilai Paling Sesuai Angkat Produksi

Bisnis  

JAKARTA -- Skema cost recovery pada industri minyak dan gas bumi (migas) dipandang paling sesuai guna menambah produksi. Terlebih, Pemerintah memasang target produksi satu juta barel per hari pada 2030.

“Misalnya kita punya program untuk menggenjot 1 juta barel per hari produksi minyak pada 2030, tapi tidak didukung cost recovery itu tidak mungkin. Itu mustahil,” kata Direktur Center for Energy Policy, Muhammad Kholid Syeirazi, Rabu (19/6/2024).

Mengapa? Karena menurut Kholid, saat ini sumur-sumur di dalam negeri sudah tergolong mature, sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk tetap mempertahankan produksi. Dalam kondisi demikian, lanjutnya, skema cost recovery yang paling memungkinkan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Sumur-sumur kita sudah tua, sudah uzur. Butuh biaya besar untuk mempertahankan produksi. Ibarat manusia, semakin tua semakin besar biaya yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan dan kecantikan,” kata Kholid.

Kholid juga mengingatkan kondisi sekarang jauh lebih sulit dibandingkan beberapa waktu lalu. Saat ini, lanjutnya, semakin sulit mencari minyak dan semakin dalam.

"Juga, pencarian semakin ke timur dan semakin offshore,” imbuh Kholid.

Selain itu, Kholid menyebut sumur-sumur di Indonesia sekarang sudah lebih banyak air dibandingkan minyak. Dengan demikian, untuk mengangkat minyak tersebut, membutuhkan usaha dan teknologi yang mahal.

Karena itulah, sangat wajar menurut Kholid kalau terdapat kontraktor yang ingin kembali berubah dari skema gross split menjadi cost recovery. Sebab tanpa cost recovery, kata dia, kontraktor migas seperti tidak mendapat insentif untuk merambah ke wilayah green field atau sumur dan cadangan baru. Mereka akan lebih senang bermain di area brown field atau sumur-sumur yang sudah dikembangkan.

“Makanya ketika skema cost recovery berubah menjadi gross split, sangat tidak menarik bagi kontraktor hulu migas. Dan jika itu terjadi terus-menerus, pada saatnya bisa membuat penerimaan negara dari sektor migas menurun,” ujar Kholid.

Pembahasan antara kedua skema biaya operasional tersebut, belakangan memang mengemuka. Termasuk mekanisme perbaikan fiscal term, ketika skema gross split dalam kontrak diubah kembali menjadi cost recovery.

Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dan PT Pertamina (Persero) pekan lalu misalnya, Wakil Direktur Utama Pertamina Wiko Migantoro mengatakan, sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia menunjukkan tanda-tanda akan mengalami kenaikan produksi. Untuk itu, dibutuhkan dukungan untuk memperbaiki _fiscal term_ di sektor hulu migas. Melalui perbaikan _fiscal term_, diharapkan bisa mendorong optimalisasi produksi migas.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto juga membenarkan bahwa akan ada perubahan pada sejumlah wilayah kerja migas. Dari sebelumnya gross split menjadi cost recovery.

“Karena gross split, terasa betul KKKS tidak bisa bergerak melaksanakan aktivitas. Oleh karena itu, mereka mengajukan perubahan ke cost recovery,” kata Dwi.

Terkait perubahan kontrak, pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto juga sependapat. Mengambil contoh Blok Rokan, sebelumnya Pri menilai bahwa rencana perubahan skema kontrak bagi hasil dari gross split menjadi cost recovery untuk Blok Rokan cukup beralasan.

Menurut Pri, skema kontrak gross split bakal memberatkan Pertamina Hulu Rokan untuk melanjutkan investasi besar-besaran di blok tersebut.

“Sebenarnya memang tidak pernah cocok gross split untuk lapangan yang masih butuh pengembangan berisiko dan kapital besar,” jelas Pri.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Boyong Masa Depan Sekarang Juga

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image