Seni Bertahan di Era Tingginya Biaya Pendidikan Tinggi

Umum  
Rizki Ulfahadi
Rizki Ulfahadi

Oleh: Rizki Ulfahadi*

Bulan Agustus 2023 lalu, saat berkunjung ke kediaman Andrinof Chaniago, saya dihadiahi olehnya buku berjudul Evolusi Mimpi Menata Indonesia: Andrinof Chaniago dan Jejak Kelahiran Pemikiran Pembangunan Pasca 2014. Buku tentang kiprah dan pemikirannya ini menarik perhatian dan minat membaca saya.

Bagian pertama buku tersebut berjudul apik sekaligus provokatif: “Orang Susah Harus Nekat Sekolah”. Menceritakan masa kecil Andrinof yang diselimuti kemiskinan di pinggiran Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat, hingga perjuangannya meraih pendidikan tinggi di tanah perantauan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pahit getir kisah Andrinof justru menghadirkan inspirasi dan teladan di tengah peliknya dunia pendidikan tinggi Indonesia saat ini. Belum lama ini, setidaknya ada dua isu pendidikan yang menjadi sorotan dan polemik di tengah masyarakat:

Pertama, Presiden Jokowi dalam acara Forum Rektor Indonesia (15/1/2024), menyampaikan kekagetannya karena rasio pendidikan tinggi (S2 dan S3) masyarakat Indonesia masih rendah, hanya 0,45% dari total populasi produktif. Jokowi seharusnya tidak kaget, sejak lama masyarakat Indonesia kesusahan mengakses pendidikan tinggi.

Gelar sarjana masih menjadi barang mahal di tengah masyarakat kita. Data dari Dukcapil RI (2022) menyebutkan, hanya 6,41% masyarakat Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi (S1).

Kedua, masih sangat hangat, baru-baru ini rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) didemo oleh mahasiswanya. Gejolak ini disebabkan adanya kebijakan baru yang membuka opsi pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan dicicil plus bunga melalui aplikasi Pinjaman Online (Pinjol).

Memang bermaksud baik, kebijakan tersebut disinyalir memberikan fleksibilitas bagi mahasiswa yang belum mampu membayar. Namun, kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan: tingginya biaya UKT. Alih-alih membantu, skema baru ini bisa menjadi jebakan lilitan hutang yang bergelinding semakin besar.

Dua isu di atas, hanyalah secuil potret buruknya semesta pendidikan tinggi. Di sisi lain, banyak mahasiswa yang stres, depresi, bunuh diri, dan ratusan ribu putus kuliah (Kemendikbudristek, 2020).

Kini, mampu membayar UKT adalah sebuah kemewahan. Jangankan bisa membeli buku, mampu bertahan sudah hebat. Bertahan di era mahalnya pendidikan tinggi membutuhkan seni tersendiri.

Kisah Andrinof Chaniago

Andrinof lahir di Padang pada 3 November 1962. Masa kecilnya bergelimang kemiskinan. Dalam buku yang ditulis oleh A. Wiharso dan L.M. Komarudin (2017) diceritakan, setiap malam sebelum tidur, Andrinof memarut singkong dan paginya sebelum matahari terbit stand by membantu ibunya membuat kue talam di dapur.

Ketika ibunya berhenti jualan, sang “anak pelabuhan” ini beralih profesi menjadi porter awak kapal. Saat kelas 6 SD, ia menjadi reseller rempeyek kacang, keluar masuk kapal menawarkan dagangan. Menariknya, sejak kecil ia memiliki tekat ingin keluar dari jeratan kemiskinan melalui jalur pendidikan.

Andrinof pergi merantau ke tanah Jawa. Ia ingin merubah nasib. Di Jakarta, ia sekolah di SMP Ma’arif Grogol lalu lanjut di SMA 56 Jakarta Barat. Andrinof rajin belajar, karena tidak memiliki buku, ia meminjam buku teman dan datang ke toko buku di Kwitang, Senen, hanya untuk membaca buku, sebab tidak mampu membeli.

Buah manisnya, ia menjadi satu-satunya siswa dari sekolahnya yang berhasil lulus masuk Universitas Indonesia (UI). Namun, ketika mulai kuliah, ia culture shock. UI diisi anak-anak terbaik dan kebanyakan dari golongan mampu. Andrinof insecure dan merasa sendirian sebab dari kalangan papa yang serba kekurangan.

Setelah tidak lagi ngontrak rame-rame dengan teman, Andrinof sampai di titik tidak mampu membayar kost. Ia ingin tinggal di asrama UI, namun kuotanya penuh. Andrinof kebingungan. Menurut pengakuannya, di tengah kegalauan ia memutuskan untuk tinggal dan tidur di perpustakaan kampus.

Bermodalkan kegemaran membaca buku, kejujuran akan kondisi, dan komunikasi yang baik, salah satu staff muda perpustakaan berempati dan mengizinkannya. Andrinof bertahan kurang lebih dua bulan di perpustakaan kampus.

Di dalam kelas, ia bukan mahasiswa berprestasi, nilainya pun biasa-biasa saja. Namun rahasia mengarungi samudera kehidupan baginya ialah keyakinan dan optimisme yang dibersamai oleh kerja keras. Andrinof menganalisis mana yang akan berdampak jangka panjang dalam hidup. Ia tidak tergiur pada hal yang bersifat sesaat.

Andrinof menyadari bakatnya dalam menulis. Ia berlatih hingga tulisannya terbit di Koran Kompas. Prestise ini membuat namanya mulai dikenal. Andrinof menulis skripsi dengan baik dan berhasil memikat peneliti di Singapura. Andrinof yang masih berstatus sarjana muda diundang menjadi research fellow di negeri tetangga.

Waktu bergulir, anak rantau yang berjalan gontai bingung mencari tempat tinggal hingga terdampar di perpustakaan itu kini telah banyak melahirkan karya, menjadi dosen di UI, mendirikan lembaga penelitian dan survei bahkan pada tahun 2014 diangkat menjadi Menteri PPN/Kepala Bappenas RI.

Seni Bertahan

Hadirnya pendidikan tinggi yang terjangkau bagi rakyat kecil sudah banyak dijanjikan. Orasi manis dari pemerintah santer terdengar. Namun, kita yang saat ini sedang menempuh perkuliahan, tidak boleh berpangku tangan menanti kebijakan. Mungkin belasan tahun lagi pendidikan tinggi bisa lebih terjangkau, atau tidak pernah terwujud sama sekali.

Seni membutuhkan inspirasi. Lika-liku perjuangan pendidikan Andrinof Chaniago bisa menjadi contoh bersama. Menjaga kedaulatan diri sebagai mahasiswa di tengah gempuran UKT mahal harus dimulai dari pertahanan diri dari dalam. Setidaknya, ada tiga hal seni bertahan dalam perjuangan pendidikan Andrinof, yaitu:

Pertama, keyakinan, optimisme, dan kerja keras. Prinsip hidup Andrinof ini membawanya pada ketekunan yang mengantarkan kesuksesan melewati himpitan ekonomi. Steven R. Covey (2015) mengatakan, kehebatan primer dalam diri seseorang adalah karakter. Yakin, optimis, dan kerja keras menjelma menjadi karakter Andrinof.

Kedua, mengenali diri sendiri. Andrinof membaca dan menganalisis dirinya sendiri. Ia kemudian mengetahui kelemahan dan menyadari ada secercah kekuatan yang ia miliki. Seperti penjelasan Covey (2015), Andrinof menerapkan paradigma dari dalam ke luar. Mengajak kita melihat potensi diri dan berupaya memaksimalkannya.

Di kalangan kaum sufistik, ada riwayat populer yang berbunyi: man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenali dirinya, maka akan mengenali Tuhannya). Setelah menyelami kedalaman diri, Andrinof juga memulai dari dirinya sendiri. Dengan penuh ketekunan, ia sustain mengasah skills menulis dan meneliti.

Ketiga, cakap melihat peluang. Andrinof sadar dirinya punya kelemahan, tidak hanya keterbatasan ekonomi, ia juga tidak terlalu mentereng di dalam kelas kampus. Anugerah skill menulis ia “kapitalisasi” sampai menghasilkan karya yang bagus dan memikat. Inilah yang di kemudian hari mengantarkannya pada pintu kesuksesan.

Ketiga seni ini pastinya tidak menurunkan biaya UKT sama sekali. Namun, semoga dapat menjadi mantra yang bisa kita amalkan sebagai seni bertahan di tengah gempuran tingginya biaya pendidikan tinggi. Kita harus menanamkan keyakinan dan optimisme bahwa selalu ada jalan untuk bertahan dalam jalan juang.

*Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana (S2) Departemen Sosiologi, FISIP UI.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image